Halaman

Sabtu, 19 November 2011

" Mari Meng-Indonesia




Realitas hari ini Sistem Kapitalisme telah mengurita disemua sisi Kehidupan,dibelahan Dunia manapun, Hingga Kapitalisme telah melahirkan Politik demokrasi liberal Secara langsung menghasilkan citra dan harapan yang luar biasa bagi pemeluknya. Semua kaum demokrat yang beriman pada demokrasi liberal akan mengalami candu kebebasan hidup. Padahal, romantisme kebebasan dapat mengakibatkan kebiasaan berfantasi yang akan menjadikannya ”tidak mampu” untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan nyata (Suara Pembaruan, 17/02).

Narsisisme politik yang tergambar melalui iklan-iklan politik yang marak dewasa ini menjadi bukti hipotesis di atas. Masyarakat yang mayoritas miskin pendidikan politik disuguhi aneka macam janji perubahan, terutama menyangkut kesejahteraan ekonomi. Iklan politik hadir bagai virus yang merasuk dalam bawah sadar dan kemudian melambungkan harapan hadirnya perubahan.

Memang, obral janji politik merupakan bagian dari kampanye politik. Karena itu, janji-janji itu biasanya dikemas sedemikian rupa sehingga para konstituen tak menyadari kalau janji yang disuguhkannya bukan pernyataan yang tulus. Gejala politik ini bisa kita tengok dengan menggunakan paradigma dramaturgi Erving Goffman. Teori ervin Goffman tentang dramaturgi yang berasal dari buku The Presentation of Self in Everyday Lrfe (1959) melihat banyak kesamaan antara pementasan teater dengan berbagai jenis peran yang kita mainkan dalam interaksi dan tindakan sehariban. Seperti aktor di panggung, aktor politik membawakan peran, mengasumsikan karakter, dan bermain melalui adegan-adegan ketika terlibat dalam interaksi dengan orang lain.

Narsisisme politik yang demikian, tulis Yasraf Amir Piliang (2009), merupakan cermin ”artifisialisme politik” melalui konstruksi citra diri yang sebaik, secerdas, seintelek, sesempurna dan seideal mungkin tanpa menghiraukan pandangan umum terhadap realitas diri yang sebenarnya. Melalui politik pertandaan (politics of signification), berbagai tanda palsu tentang tokoh, figur, dan partai diciptakan untuk mengelabuhi persepsi dan pandangan publik. Bedah plastik yang dilakukan calon anggota legislatif (caleg) untuk mengubah penampilannya adalah bukti nyata yang menggelikan.
Janji yang terkoyak
Saat ini, politik di Indonesia adalah ”politik janji-janji,” bukan lagi politik perjuangan seperti di zaman para founding father’s Republik ini. Padahal, mengutip Yudi Latif (2008), janji-janji etis perubahan ekonomi rakyat selalu kandas di tengah jalan negara lebih sibuk mengurus ”ketupat politik” daripada pelembagaan ekonomi rakyat. Padahal idealnya, menurut M. Dawam Raharjo (2009), pembangunan politik dan pembangunan ekonomi dapat berjalan bersama-sama, seiring sejalan.
Mari sejenak menengok sejarah. Era pemerintahan Orde Lama sukses mengumandangkan jargon-jargon pembangunan politik dan pembentukan karakter bangsa. Sayangnya, Presiden Soekarno kurang memerhatikan sisi ekonomi dan dengan itu berakhirlah kekuasaannya. Pemerintahan Orde Baru sempat menorehkan kisah sukses dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Bahkan, Indonesia mendapat julukan Macan Asia dalam perekonomian. Epos ini ternyata hanyalah fatamorgana belaka. Kisah sukses pembangunan berakhir dengan pahit, karena kekacauan yang ditimbulkan bukan hanya dalam bidang ekonomi, tetapi juga politik, sosial, bahkan kebudayaan.
Hadir kemudian era Reformasi dengan segudang harapan perbaikan ekonomi rakyat. Sayangnya, lebih dari 10 tahun Reformasi bergulir, wacana kesejahteraan rakyat tenggelam oleh ambisi politik berlebihan. Padahal, Davil Hill (1987) telah mengingatkan bahwa bahwa ketika suatu negara lebih berambisi menata politik maka harus disadari bahwa ”politik” akan selalu menemukan logikanya sendiri. Politik sebagai panglima akan menyeret secara deras membentuk pusaran sentrifugal dengan memakan waktu, tenaga dan pikiran yang terkadang menenggelamkan cita-cita kesejahteraan rakyat.
Kini, kita sedang berbondong menuju Pemilu 2009. Janji-janji perubahan ekonomi meluncur dari ribuan calon anggota legislatif dari berbagai partai. Tak ketinggalan, para calon presiden dan calon wakil presiden pun jauh-jauh hari menawarkan janji perubahan. Akankah janji-janji dapat terealisasi atau hanya menjadi angin surga penawar duka lara?

Jati diri bangsa
Kesejahteraan rakyat tidak dapat terwujud hanya dengan janji politik. Kehendak itu dapat tercapai apabila ada niat, kesadaran dan kerja keras untuk membongkar dan menata ulang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Inilah sesungguhnya pesan reformasi yang masih jauh panggang dari api. Yakni merancang bangun gagasan (wacana), aktor (agensi) dan cita-cita (mimpi) bangsa. Sebab, saat ini gagasan, aktor dan mimpi yang berputar-putar di atas kanvas pembangunan kita bukan lagi representasi keIndonesiaan kita. Kita telah kehilangan
”Alam Pikiran Indonesia (API)”
Dalam hal ekonomi misalnya, keIndonesiaan kita telah dicabik-cabik oleh wacana liberalisme dengan agen-agen economic hitman ─ kata John Perkins ─ yang bertebaran di mana-mana. Mimpi orang Indonesia pun telah dijejali alam pikir liberalisme seperti pertumbuhan, konsumerisme, logika pasar, individualisme dan seterusnya. Jika tidak direm, kita akan menjadi koeli di negeri sendiri.
Oleh karena itu, kita memerlukan terobosan baru. Sebuah strategi komprehensif yang dijiwai nasionalisme yang tinggi untuk menghentikan berkembangbiaknya virus-virus neoliberalisme dan etatisme dalam perekonomian kita. Sudah saatnya kita kembali berpijak pada gagasan Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Syahrir dan Yamin yang mewariskan kemandirian. Dari Tan Malaka kita mewarisi semangat revolusi (dan anti diplomasi) untuk mengusir penjajah. Dari Soekarno kita mewarisi trisakti: berdikari secara ekonomi, berdaulat secara politik, berkepribadian secara budaya. Dari Hatta kita mewarisi ekonomi kerakyatan [koperasi] yang menjadi sintesa antara ekonomi komunis-kapitalis. Dari Syahrir kita mewarisi keadilan sosial yang menjadi landasan akhir manusia Pancasila sehingga bersama untuk bergotongroyong dan bergotongroyong untuk bersama. Dan, dari Yamin kita mewarisi negara hukum [law governed state] yang menyamakan dan membagi keadilan untuk semua. Refleksi dari nilai-nilai itulah yang melandasi Pancasila dan UUD45.
Pada akhirnya, tak ada pilihan lagi bagi kita semua untuk kembali pada jati diri keIndonesiaan dengan menterjemahkan gagasan ilmu ekonomi-politik ke asal mula dilecutkan di bumi Indonesia. Hal ini dapat terwujud bukan hanya dengan janji politik, tapi dengan bukti niat tulus dan kerja keras.


Akhir kata
Mari Meng-Indonesia


Salam Jabat erat
GERAKAN ALAM PIKIR INDONESIA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar